Mendidik dari Ruang Advokasi: Refleksi Seorang Ketua DPM
Setiap masa kepemimpinan punya kisahnya sendiri. Bagi saya, ruang kecil di kampus sering kali menjadi tempat lahirnya gagasan besar. Salah satunya adalah ketika saya berdiri di depan para mahasiswa magang di Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Universitas Nusa Putra, memberikan materi tentang Strategi Advokasi.
Ruangan itu sederhana — dinding putih, kursi melingkar, dan belasan mahasiswa dengan jaket almamater merah duduk memperhatikan. Saya berdiri di depan mereka bukan sebagai atasan, tetapi sebagai teman seperjuangan yang ingin berbagi tentang makna advokasi yang sesungguhnya: keberanian berpikir kritis dan tanggung jawab moral terhadap lingkungan sosial.
Saya menjelaskan bahwa advokasi bukan hanya soal demonstrasi atau kritik terhadap kebijakan, tetapi tentang empati dan keberanian memperjuangkan kebenaran dengan cara yang bermartabat. Kampus, bagi saya, adalah miniatur negara. Di dalamnya, mahasiswa bisa belajar berdialog, menyusun kebijakan, dan memperjuangkan kepentingan bersama secara rasional dan etis.
Sebagai Ketua DPM, saya sering terlibat dalam berbagai persoalan kampus: mulai dari pengawasan kebijakan akademik hingga mediasi antara mahasiswa dan pihak universitas. Dari situ saya belajar bahwa advokasi yang efektif harus berbasis pada data, logika, dan kemampuan membaca situasi. Keberanian tanpa pengetahuan hanya akan melahirkan kekacauan.
Saya mengajak para peserta magang memahami langkah-langkah dasar advokasi: mengidentifikasi masalah, mengumpulkan data, membangun narasi, dan menentukan strategi komunikasi. Tidak semua masalah perlu dihadapi dengan konfrontasi; sebagian besar justru membutuhkan pendekatan dialogis. Kami di DPM menggunakan pendekatan diplomasi, seperti forum dengar pendapat dan penyusunan rekomendasi resmi kepada universitas. Prinsip kami sederhana: tegas dalam sikap, santun dalam penyampaian.
Namun, yang paling penting dari semua itu adalah integritas. Advokasi tanpa integritas hanya akan menciptakan kegaduhan. Integritas menjaga agar perjuangan tetap berpihak pada kepentingan bersama, bukan ambisi pribadi. Bagi saya, inilah nilai tertinggi dalam kepemimpinan mahasiswa: berani berkata benar meskipun tidak populer.
Pelatihan seperti ini bukan sekadar berbagi teori, tapi bagian dari proses kaderisasi. Saya ingin memastikan setelah saya tidak lagi menjabat, DPM tetap diisi oleh orang-orang yang memahami makna perjuangan. Regenerasi bukan hanya pergantian posisi, tapi proses menanamkan nilai. Karena itu, saya selalu memberi ruang bagi peserta untuk berdiskusi, mengkritik, bahkan menantang gagasan saya sendiri. Kritik, bagi saya, adalah bentuk cinta tertinggi terhadap organisasi.
Melihat mereka aktif berdialog, mencatat, dan berani mengemukakan pendapat, saya merasa tujuan saya tercapai. Dari sana saya sadar, pendidikan organisasi tidak selalu tentang teori hukum atau manajemen, tetapi tentang keberanian berpikir dan tanggung jawab atas pemikiran itu.
Pengalaman itu juga mengubah cara saya memandang dunia hukum. Saya belajar bahwa advokasi tidak hanya milik pengacara di ruang sidang, tetapi juga milik siapa pun yang berani memperjuangkan keadilan di ruang sosialnya. Di kampus, advokasi adalah latihan kecil dari peran besar yang kelak akan dijalankan di masyarakat.
Hari itu, saya mungkin hanya berbicara di ruangan kecil dengan beberapa mahasiswa. Tapi saya tahu, saya sedang menanam sesuatu yang lebih besar dari sekadar pengetahuan — sebuah kesadaran bahwa keadilan dimulai dari keberanian untuk peduli.

Comments
Post a Comment